Bos Lamborghini Jakarta Hadiri Sidang di PN Manado

Hukrim162 Dilihat

TOPIKSULUT.COM, MANADO –
Persidangan kasus dugaan penipuan tanah seluas 13.000m2 yang menjerat tiga warga Molas – Bunaken sekaligus sebagai terdakwa dalam satu berkas, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Manado, Rabu (15/8/2018).

Kali ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) Noval Thaher menghadirkan saksi korban , Johnson Yaptonaga yang notabene dalam keseharian dikenal sebagai CEO Lamborghini Indonesia.

Dalam keterangan saksi korban terhadap tiga Terdakwa, yakni terdakwa I NS alias Nem (52) , terdakwa II MK alias Jeger (49), dan terdakwa III DJ alias Djodi (47).

Jika saksi korban pernah satu kali saja datang ke lokasi tanah yang akan dibelinya. “Saya datang bersama Pak Maxi (terdakwa Jegger,red), bersama Mbak Ruthy, dan satu orang lain saya tidak kenal,” katanya dan menambahkan jika saat itu ada juga bersama istri Kapolda Sulut, menjawab pertanyaan para Penasihat Hukum (PH) terdakwa Adv. Novry Rantung, Adv. Zemmy MA Leihitu dan Adv. Aswin Kasim.

Singkatnya, Jual beli pun terjadi antara terdakwa I dan saksi korban. Diterangkan pembelian dengan tiga kali transaksi. Pertama uang muka – DP Rp100 juta, kedua Rp150 juta dan sisa sebesar Rp1.60 Miliar, di rumah dinas Kapolda. Sehingga total uang yang dikeluarkan untuk pembelian tanah sebesar Rp1.950 Miliar, dan diakui saksi korban tanpa menawar harga tanah.

Menariknya dalam kasus ini gaung nama Kapolda Sulut , Irjen Pol Bambang Waskito ikut terdengar dalam sidang, ternyata sebagaimana keterangan saksi korban, jika ia mempercayakan uang sebesar Rp1.950 kepada Kapolda Sulut untuk pembayaran tanah yang dimaksud.

“Untuk pembayaran tanah tersebut, uang saya titipkan kepada Kapolda. Karena saya tahu dan hanya kenal dengan -Nya. Sudah sejak awal ke Manado saya sudah bawa uang dan titip pada Kapolda, ia yang saya kenal di Manado ,” terangnya.

Lanjutnya, adapun untuk pengurusan keabsahan surat surat dipercayakan pada notaris, dan untuk pembuatan akta jual beli dengan terdakwa I tidak bersamaan dihadapan notaris, saksi korban tanda-tangani surat di Jakarta.

“Tidak bersamaan, saya tandatangan di Jakarta ,” singkat Saksi korban.

Masih dalam pertanyaan PH terdakwa , ketika ditunjukan dokumen akta jual beli tanah, yang ada bubuhan tandatangan saksi , hanya senilai Rp300 Juta. Sementara dalam persidangan, dakwaan muncul angka Rp1.950 Miliar yang kemudian ditanyakan kebenaran-nya.

“Saya nga tau, saya bayar senilai 1.950 miliar , tidak tahu deal Rp300. Itu antara notaris yang buat. Bapak tanyakan saja pada notaris,” kelit saksi korban.

Dicecar pertanyaan PH terdakwa, saksi korban kemudian tiba tiba meminta ijin sudah akan kembali ke Bandung karena ada urusan penting. Dan harus segera ke airport mengingat takut ketinggalan penerbangan pesawat.

Hal itu membuat PH terdakwa merasa keberatan dikarenakan masih belum selesai persidangan, karena dianggap membatasi pertanyaan PH.

Majelis hakim kemudian menengahi, menanyakan kesediaan kehadiran saksi korban kembali untuk hadir dalam persidangan. Dan saksi korban pun mengiyakan bersedia datang lagi dalam persidangan.

Diketahui dalam dakwaan, kasus ini terjadi Februari 2018. Saat itu, korban ingin membeli tanah di pinggiran pantai, di Kelurahan Molas, Kecamatan Bunaken.

Mendengarkan informasi,Terdakwa II menghubungi Terdakwa III yang adalah penjaga tanah tersebut. Terdakwa II dan III lantas menghubungi Terdakwa I, yang mengaku sebagai pemilik tanah.

Akhirnya sepakat, Tanah seluas 13.000m2 dengan harga Rp150.000 per m2. Dan uang saksi korban sejumlah Rp1,950 miliar untuk jual beli tanah tersebut diberikan dalam tiga tahap kepada terdakwa I dengan setiap bukti penerimaan uang ada kwitansi dan tandatangan terdakwa.

Belakangan, saat saksi korban hendak mengurus penerbitan sertifikat, diperoleh informasi tanah tersebut suda ada pemiliknya. Sesuai sertifikat akta milik nomor 236 tahun 1984 atas nama Johan Kansil, dengan pemilik terakhir Rudy P Silalahi sesuai Akta Jual beli (AJB) nomor 197/ASR/1984 tanggal 17 oktober 1984. Saksi korban kemudian merasa dirugikan, lantas memproses hukum.

Oleh JPU menjerat para terdakwa sebagaimana diancam pidana dalam pasal 378 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPidana. (ely)