Golput, Antara Hak Pemilih dan Merugikan Negara

Berita Utama, Bitung379 Dilihat

Catatan oleh : Hezky F. Goni

Dalam setiap pelaksanaan pwmilihan umum (Pemilu) baik untuk memilih DPRD, DPR, DPD maupun pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota), pemerintah dan penyelenggara Pemilu, selalu mendorong masyarakat yang sudah memiliki hak pilih, untuk tidak lupa menggunakanbhak pilihnya, dengan memilih sesuai hati nurani.
Namun yang terjadi, dalam setiap pelaksanaan Pemilu, masalah yang paling ditakuti adalah golput (golongan putih, atau orang meski mempunya hak pilih, tapi enggan untuk haknya teserssbut). Hal ini berkibat pada partisipasi pemilih sulir mencapai 100 persen. Dari data yang ada, pada pelaksanaan Pemilu legislatif 2014 lalu, partisipasi pemilih hanya sekitar 70 persen. Itu menunjukan bahwa ada sekitar 30 persen warga Indonesia yang terdaftar sebagai pemilih tidak menggunakan hak pilihnya.
Padahal, jika diadari dengan memilih wakil rakyat di lembaga legislatif dan ekswkutif, itu menunjukan bahwa kita aktif dalam proses regenerasi kepemimpinan negara ini, baik di pusat maupun daerah.
Jika dilihat dari konteks sejarah, golput pertama muncul di Indonesia, dari gerakan muda yang merasa aspirasi politik mereka tidak terwakilkan oleh kandidat-kandidat pada pemilu tahun 1971. Kelompok muda saat itu mengajak orang-orang untuk mencoblos bagian kosong atau putih dari surat suara. Sejak saat itu, gerakan ini disebut golput.
Akan tetapi, diera sekarang ini, alasan orang golput beragam. Ada yang mengatakan enggan memilih karena hasil pemilu tidak berdampak, baik bagi diri sendiri maupuj lingkungan sekitarnya. Ada yang mengaku tidak mengenal kandidat (orang yang jadi peserta pemilu). Dan yang paling elstrim mengaku tidak peduli dengan proses politik.
Memilih pemimpin (untuk eksekutif) dan atau wakil rakyat di lembaga legislatif memang tidak gampang. Hal ini dikarenakan banyak pemilih yang mengaku peserta pemilu tidak berkompeten. Selain itu, ada calon yang tidak sesuai dengan ekspektasi pemilih.
Selain itu, golput bisa muncul karena berbagai hal yakni, kurangnya informasi mengenai proses pemilihan, sikap apatis pasa segala hal yang berbau politik, karena politik dianggap identik dengan hal negatif.
Secara hukum, golput memang tidak dilarang. Yang dilarang adalah meangajak orang lain golput, apalagi dengan tindakan pemaksaan, kekerasan, atau memprovokasi orang lain untuk golput.
Masyarakat yang sadar akan pentingnya proses demokrasi, sebaiknya tidak golput. Karena seperti sebuah ungkapan, suara anda menentukan nasib bangsa. Hal ini seharusnya menjadi dasari bagi tiap warga negara yang telah mempunyai hak pilih untuk menyampaikan pilihanya dengan mendatangi tempat pemungutan suara(TPS).
Karena sebenarnya, golput tidak langsung menyelesaikan masalah kebangsaan. Justru sebaliknya, dengan memberikan hak pilih sesuai hati nurani masing-masing maka hal ini meski kecil telah menjadi bagian dari proswa perubahan suatu bangsa atau daerah.
Menjadi negara yang demokrasi di Indo nesia, memang seharusnya dibekali dengan pengetahuan politik yang mumpuni. Salah satu penyebab golput juga adalah, kurang pahamnya pemilih terhadap politik dan demokrasi. Hal ini mengakibatkan peluang money politik terbuka lebar, karena kandidat yang meski tidak mempunyai kemampuan, hanya mengandalkan uang, memanfaatkan situasi ini untuk masyarakat awam politik dan tidak mempunyai pilihan, untuk akhirnya bisa memilih.
Padahal, jika disadari dengan benar, masa depan Indonesia ditentukan oleh swing voters, atau orang yang belum menentukan pilihan, hingga hari pencoblosan tiba. Harus diingat bahwa sikap apatisme tidak menyelesaikan masalah. Justru sebaliknya, banyak warga memilih golput dengan alasan, tidak ada figur yang dapat menjadi panutan, terlebih maraknya kasus korupsi. Akan tetapi, akan lebih parah lagi, jika tidak memilih, karena bangsa ini masih terlalu banyak masalah yang harus diselesaikan. Orang yang peka terhadap kondisi bangsa, harus memberikan hak polih pada setiap pemilu dan bukan sebaliknya golput.
Apapun alasannya, tingginya angka golput adalah warning atas kondisi politik yang memprihatinkan. Karena bagaimana pun juga, meski golput adalah hak, secara langsung maupun tidak langsung, sudah merugikan negara dan merusak tatanan berdemokrasi. Oleh karenanya, memilih harus dijadikan “hobi” dalam rangka menuju negara Indonesia yang demokratis, maju dan berkembang. (***)

Baca juga:  Bupati Bolmong Limi Mokodompit Sambut Kunjungan Kerja Kapolda Sulut Di Bolmong.